Sejarah Di kamar Marwah


Di siang yang sangat panas ditambah dengan kipas angin, air dan lampu yang mati. Semakin menjadikan Asrama Ar-raudhoh seperti ovennya manusia, 

tak ada angin berhembus, tak ada air yang mengalir, dan tak ada penerangan sama sekali, kecuali lilin dan senter seadanya, 

kondisi yang kurasakan saat ini adalah kamar Al-marwah sedang ditimpa sakit panas dan pusing.

Semakin terasa panas ketika lampu mulai mati, semakin pusing diriku mendengarkan keramaian diluar kamar yang begitu gaduh,

dan semakin sempit lokalku yang berbaring mengistirahatkan tubuh, dikarenakan banyaknya anggota kamar memilih tidur 

didalam kamar, agar tidak dibangunkan pendidikan saat adzan dhuhur tiba.

Setelah lampu dan kipas angin mati, air di kamar mandi pun mulai berhenti, namun masih ada beberapa orang didalamnya. Tidak lama kemudian tercium bau yang tidak enak tersebar masuk kedalam kamar, mbak-mbak pun terasa terganggu dengan bau itu, termasuk aku, diduga bau itu berasal dari kamar mandi pengurus 3.

Saat seluruh kamar mengeluarkan suara protesnya, orang yang ada di dalam KM(kamar mandi) dimaksud menjatuhkan semua barang yang ada disitu, dan membuka paksa penutup jendela antara KM dengan kamar, Karena saking kerasnya penutup itu terlempar ke KM 2 dan terjebur kedalam bak mandi.

Dengan nada marah, pelaku perusak inventaris pondok itu menyuruh orang yang ada di KM 2 untuk mengambilnya. Padahal bak mandi yang di KM 2 lumayand alam, setelah diambilkan,  perusak tadi mengucapkan kalimat yang sanga tkeras dan lantang dengan nada marahnya. “Rungokno, kamar Al marwah!  Nggak terkecuali kabeh podo ae! Ora eleng mbiyen perjanjiane koyok pie?opomok pikir taimu ora mambu? Ababmu kabeh kui mambu tai! Mokkiro iki jedinge mbahmu? Sampek aku ngerti di baleni neh koyok ngene, nggak usah nggawe jading pisan!, “ ujarnya dengan menutup pintu KM dengan keras sembari keluar dari KM menuju kantor.

Aku dan warga kamar yang mendengarnya sontak terkejut dengan ucapan orang yang ada didalamnya. Kami kecewa dengan suara yang sudah tidak asing lagi bagi kami, beliau adalah ketua pondok unit sekaligus menjadi ustadzah di Al-Mahrusiyah.

Kami kecewa karena wibawa seorang ustadzah harusnya dijaga dengan bertutur kata yang sopan dan wibawa, seorang ketua pondok hendaknya mengayomi seluruh warga pondoknya dengan bijaksana, bukan dengan merusak inventaris pondok dan marah ditempat umum, apalagi hal itu dilakukannya di KM, sungguh tidak patut dicontoh.

Suatu saat nanti jika kalian berada di posisi yang tinggi dan mendapati bawahan kalian melakukan kesalahan, tegurlah dengan tutur kata yang lembut agar mereka merasa sungkan dan mudah untuk menjalankan nasihat kalian, jika yang kalian lakukan malah sebaliknya, yang terjadi orang yang kalian ingatkan akan sulit mendengarkan nasihat kalian.

Tetaplah sabar walau dalam kondisi apapun :)

Oleh:@Better

Komentar

Terpopuler

Samudra X JKM 24

Aku Tak Ingin Menyerah

Khidmah, Cara Santri Memperoleh Barokah

Hujan Dan Langit