Pengganti Impian Seorang Ayah



    Pada hari itu, matahari memaparkan sinarnya diatas lapisan bumi, terlihat seorang petani tua yang sedang mencangkul ladangnya disawah. Dengan wajah yang penuh kerja keras ia berjuang untuk membiayai anak dan istrinya dirumah.

Tak terasa waktu menjelang sore, ia pun pulang dengan membawa cangkul dipundaknya dan satu karung yang berisikan keong yang ia cari tadi disawah. Perjalanan dari ladang menuju rumah bukanlah jarak yang dekat, namun olengan berjalan kaki ia hadapi sendiri. Sesampainya dirumah ia disambut hangat oleh istrinya dan membantunya membereskan barang yang tadi dibawanya.

Waktu menunjukkan pukul 17.00, kumandang azan tersebar ke seluruh, penjuru kota Tangerang selatan, terdengar langkah seorang pria tua bergegas jalan menuju masjid yang tak jauh dari rumahnya, sesampainya disana ia menjalankan ibadah shalat maghrib berjama’ah, setelah jama’ah usai ia melakukan rutinitasnya yakni dzikir seperti yang biasa ia lakukan usai shalat, tak lama kemudian datang kepadanya seorang pemuda menghampirinya untuk bersalaman, yang tak lain dan tak bukan adalah putranya sendiri, yakni Rudi, Rudi putra ketujuh dari  delapan saudara.

Di dalam masjid yang penuh ketenangan rudi dengan rasa gugup, ia mengatakan.

“Pak…pak…bapak sehat?” ucap rudi dengan terbata-bata.

“Alhamdulillah sehat rud, emangnya ada apa?” jawab bapak dengan kelembutannya tanpa mengurangi ketegasannya, antara perasaan bingung dan bimbang sedang mengitari hati rudi pada saat itu.

“Nggak apa-apa pak, Cuma nanya aja,” ucap rudi dengan rasa bimbang didalam hatinya

“ya udah, mendingan kamu baca Al-qur’an saja sambil menunggu waktu isya’,” ucap bapak sembari menepuk-nepuk pundak rudi, dengan penuh keta’dziman ia perlahan pergi tanpa membalas ucapan bapak dan menuju dinding samping masjid untuk membaca Al-qur’an.

Larutnya malam mulai menampakkan kegelapan dan kesunyianya, Rudi terdiam duduk sendiri di kamarnya. Masih memikirkan tentang impian dan ambisinya yang ingin ia utarakan kepada bapak pada waktu malam itu yakni untuk mondok dipondok pesantren guna untuk menimba ilmu lebih dalam, namun,  ada perkara yang membuat langkahnya terhenti, karena melihat dari penghasilan ayahnya yang hanya seorang petani kampung dengan perbandingan membiayai delapan orang anak.

“Tok tok tok,” terdengar suara ketukan pintu.

“Rud, kamu belum tidur nak,” lanjut suara ibu diluar sana, rudi segera membuka pintu kamarnya dan terdapat sesosok wanita yang sangat ia sayangi.

“Belum bu, belum ngantuk soalnya,” jawab rudi.

“Bu, rudi pengen ngobrol sama ibu sebentar, boleh?” lanjutnya.

“Boleh nak, ngobrol apa emangnya?” jawab ibu.

“Ngobrolnya di kamar rudi aja bu, takut bapak  denger,” ucap rudi dengan lirih.


Agusutus 1981

Pagi ini diawali biasan cahaya sang matahari yang pertanda ucapan selamat pagi pada sang makhluk bumi. Rudi berjalan menuju sekolah seorang diri. Saat ini rudi berstatus ebagai pelajar di Madrasah Aliyah yang mana keputusan ini ia ambil atas keputusan sang ibu tercinta pada 2 bulan yang lalu. Dengan impian yang masih ia simpan dia dalam benak hatinya yang terdalam, biar tuhan yang menunjukan jalan terbaiknya. 

Waktu yang terus berjalan, hingga tak terasa tahun ini adalah waktunya rudi lulus dari Madrasah Aliyah.begitulah waktu yang terus bergulir begitu cepat adanya. Di selang acara kelulusan. Ibu menanyakan tentang sebuah impiannya kepada Rudi.

“Rud, apakah impianmu masih kamu genggam?” Tanya ibu dengan mengelus puncak kepala rudi. “Tentu masih bu, biar impian yang ku genggam saat ini akan ku berikan kepada orang yang tepat,” jawab Rudi dengan penuh ambisi.


MEI 2003


Telah lahir seorang bayi perempuan yang mungil. Bayi tersebut adalah buah hasil dari pernikahan Rudi dan Mira yang dilaksanakan pada tahun lalu. Kebahagiaan dan rasa syukur yang rudi rasakan saat ini. “Eaaa….eaaa,” suara tangisan bayi terdengar di balik dinding ruang persalinan. Dengan spontan Rudi langsung bersujud di atas tanah tak beralas. Hal itu menambah rasa bersyukur yang berlipat-lipat bagi dirinya.

Safira, nama yang Rudi berikan kepada putri sulungnya yang saat ini memiliki 2 adik perempuan. Safira tumbuh menjadi wanita yang kuat, ceria,dan pandai. Ketika tiba saatnya. Safira duduk di bangku SD kelas 5. Ayahnya (Rudi) menanyakan suatu hal kepadanya.

“Fir, jika kamu sudah lulus SD. Apakah kamu ingin mondok nak?,” Tanya ayah dengan lembut kepada Fira. 

“Mondok itu apa yah?,” Fira balik bertanya.

“Mondok itu nak, kamu disana akan belajar di pondok pesantren dan tinggal di sebuah asrama yang didalamnya kamu akan mempelajari lebih banyak ilmu agama. Baik akhlak maupun ibadah, dan disana banyak anak-anak seumuran kamu. Karena ayah juga melihat dari sisi nilai raport kamu itu lebih condong dalam ilmu agama seperti, fiqih,Al qur’an-hadist,dan akidah akhlak,”ucap ayah dengan jelas.

“Ayah…. Fira mau jika itu hal yang terbaik untuk Fira,” ucap Fira dengan lugas.

Tampak rasa bahagia yang dirasakan Rudi (ayah) pada saat itu. Karena akhirnya ia menemukan orang yang tepat untuk memberikan genggamannya (impian) kepada anaknya. Setahun telah berlalu, 5 bulan lagi Fira akan lulus dari pendidikan SD nya. Ayah (Rudi) menegaskan lagi perihal mondok kepada Fira.

“Fir, kamu mau mondok di daerah Bogor atau di pondok yang waktu itu kita survey?,” Tanya ayah dengan dengan ciri khasnya.

“Mmm… di pondok yang kemaren kita survey aja yah… kayaknya terlihat bagus,” jawab Fira dengan antusias. 

5 bulan telah berlalu, Fira dan ibunya mempersiapkan segala keperluannya untuk di pondok nanti, mulai dari baju, rok,gamis, alat mandi dan lain sebagainya. Dan tiba saatnya, pada tanggal 15 juni 2015, Fira mempersiapkan dirinya untuk pergi berjuang menuntut ilmu di jalan ALLAH. Siang itu semuanya tampak sibuk, mulai dari ayah yang memanaskan mobil. Ibu yang membereskan dan merapikan semua barang, serta Fira dan adik-adiknya yang terlihat sibuk demgan barangnya masing-masing. 

Setelah barang sudah dipastikan semua, saatnya Fira berpamitan kepada seluruh keluarga besarnya, yang terutama kepada kakeknya. Pamitan terakhir ia utarakan kepada kakeknya dengan bersalaman, mencium tangannya yang sudah tak lagi muda.

“Kek, Fira pamit mau berangkat ke pondok,” ucap Fira dengan kepala tertunduk.

“Iya cu, semoga ilmu mu barokah, sehat selalu,terus mencari ilmu biar pulang nanti menjadi orang,” ucap kakek sembari mengelus kepala Fira.

Acara pamitan telah usai, saatnya Fira pergi menuju tempat yang ditujunya yaitu pondok pesantren. Setibanya disana, terpampang luas lapangan yang mengucapkan selamat daatang bagi santri dan santriwati baru, hamparan santri dan santriwati menjadi sorotan.

“Akankah aku bisa ?” umpat Fira dalam hatinya di balik kaca mobil.

Fira mulai memasuki lingkungan pondok pesantren. Ketika tibanya disana, ibu sedang berbicara dengan seorang perempuan dewasa (Ustadzah, sebutannya). Kemudian Ustadzah terlihat sedang mengarahkan kamar yang akan di tempati nanti.

Setibanya di kamar, ayah telah membawakan tas dan peralatan Fira di belakangnya, ibu dan Fira pun masuk kedalam kamar (terkecuali ayah) dan membereskan lemari yang akan disinggahi Fira. Setelah semuanya terselesaikan, ayah ibu,serta adaik-adik Fira berpamitan kepadanya. Pada titik inilah hal yang terberat bagi Fira, akan tetapi seberat apapun harus dijalaninya, demi mewujudkan impian ayah yang pada waktu itu sempat diutarakan kepadanya.

Lambaian tangan telah menjadi jejak yang tak berbekas, bayangan mobil yang mengantarnya tadi pun berjalan beralun-alun akan hilang. Fira berdiri menyaksikannya seorang diri, dengan mengepal tangan kanannya, ia bergumam “Ayah, ku genggam impianmu di dalam nadi perjuangan hidupku selalu,”  Batin fira dalam hati hingga meneteskan air mata penuh cinta.    



Oleh:@ Fdy-qornain -   Ar-Roudhoh


Komentar

Terpopuler

Samudra X JKM 24

Aku Tak Ingin Menyerah

Khidmah, Cara Santri Memperoleh Barokah

Hujan Dan Langit