Membaca Sebagai Representatif Kemajuan Umat

 


          Membaca, mungkin sebagian orang akan malas ketika mendengarnya, bagaimana mau dipraktekan? La wong sekilas dengar saja sudah malas. Indonesia atau dunia pada umumnya, akhir-akhir ini memang lagi hangat kasus budaya malas membaca. Padahal unsur terpenting dalam mengetahui banyak hal maupun banyak Ilmu, yaitu dengan hal tersebut. Dapat kita pandang dari segi logika, seorang tidak akan bisa memecahkan soal matematika tanpa memperhatikan rumus, dan beberapa penjelasan. Ataupun akan mengunjungi suatu tempat, ia juga akan tersesat tanpa membaca denah atau arah.

Tapi, hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada pada negeri ini. Berdasarkan survei Organization For Economic Co-Operation And Development (OECD), Melalui Program For International Student Assesment (PISA) pada 2019, menyatakan bahwa Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara tingkat membaca rendah, atau berada 10 negara terbawah.

Persoalan seperti ini, menyebabkan Indonesia rendah indeks pembangunan sumber daya manusia, tingkat gizi buruk, daya saing menurun, sehingga negeri ini akan selalu tertinggal dan belum bisa mencapai kebahagiaan tersendiri. Yang lebih memprihatinkan, jumlah bahan bacaan penduduk Indonesia memiliki rasio 0,09 dengan banyaknya penduduk, berarti satu buku dinanti 90 orang per tahun, ini menandakan indeks kegemaran membaca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Di negara-negara Asia Timur, seperti Korea, Jepang,    China, maupun Hongkong, setiap orang rata-rata memiliki 20 buku baru setiap tahun, UNESCO menambahkan, bahwa standar buku baru bagi setiap orang berjumlah 3 per tahunnya. (Disarikan dari perkataan Staf Ahli Mentri Dalam Negeri (MENDAGRI), Suhajar Diantoro pada rapat kordinasi nasional bidang perpustakaan tahun 2021).

Bahkan, dalam persprektif pandangan islam, terdapat ayat yang mengindikasikan tentang betapa pentingnya budaya membaca. Qur’an surat Al-Alaq ayat 1 dan ayat 3. Yang mana kalau ditinjau dari segi tafsiran nya akan bermakna seperti ini, pada ayat pertama, Allah Swt. Memerintahkan kepada kita untuk membaca. Perintah membaca disini tentu harus dimaknai bukan sebatas membaca lembaran-lembaran buku, melainkan juga membaca buku dunia, seperti membaca tanda-tanda kebesaran Allah Swt, membaca diri kita, alam semesta, dan lain-lain. Berarti ayat tersebut memerintahkan kita untuk belajar dari mencari ilmu pengetahuan serta menjauhkan diri kita dari kebodohan. Dengan demikian, dalam makna yang lebih luas, ayat pertama merupakan perintah untuk mencari ilmu yang bersifat umum, maupun ilmu yang menyangkut ayat qauliyah (ayat Al -qur’an) dan ayat kauniyah (yang terjadi di alam).

Kemudian ayat ketiga, Allah Swt, meminta manusia membaca lagi, yang mengandung arti bahwa membaca akan membuahkan ilmu dan iman apabila dilakukan berkali-kali, seperti contoh membaca Al-qur’an, minimal dilakukan dua kali dalam sehari, dan apabila diselidiki berkali-kali, manusia akan menemukan bahwa Allah Swt. Itu pemurah, dalam artian beliau akan mencurahkan pengetahuan-Nya kepada manusia serta menjadikan kokoh keimanan.

   Hal ini dipertegas kembali oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah Wan-Nihayah, melalui mekanisme turunnya wahyu. Aisyah ra berkata, “Awal permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah ialah berupa mimpi yang hakiki dalam tidur beliau, Nabi tidak melihat sesuatu di dalam mimpinya, melainkan ada sesuatu yang datang menyerupai fajar shubuh. Kemudian beliau paling suka mengasingkan diri, menyendiri di Gua Hira dan beribadah disana, pada suatu saat, malaikat mendatangi beliau seraya berkata, “Bacalah.”

Rasulullah menjawab: “Aku tidak bisa membaca.”

Kemudian Malaikat Jibril memegangi dan merangkul nabi hingga terasa sesak, sembari melepaskan, Malaikat Jibril berkata “Bacalah!”

Nabi berkata: “Aku tidak bisa membaca.”

Rasulullah kembali dipegangi dan dirangkul untuk ketiga kalinya, nabi pun merasakan sesak, Malaikat Jibril kembali mengatakan: “Bacalah!”

“Dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah! Dan Rabbmulah yang maha pemurah, mengajar manusia dengan perantara Al-Qolam, dan mengajar manusia tentang apa yang tidak diketahuinya (Al-Alaq 1-5),” Rasulullah mengulang bacaan ini dengan hati bergetar.

Dari dua keterangan diatas, mengajak kita untuk selalu membaca diikuti dengan motivasi suci dan tidak berbau hal-hal negatif. Kisah rasulullah diatas juga mengingatkan kita bahwa pemahaman yang diperoleh dari membaca, tak lantas menjadikan seseorang menjadi jumawa, melainkan menjadi penerapan sikap andap asor, bahwa banyak hal yang belum kita ketahui, dan bermacam-macam hal bisa menjadi pelajaran kehidupan, serta menjadi sarana untuk memperbaiki amal, meningkatkan kualitas diri serta memberikan kemanfaatan bagi orang lain.

K.H. M. A, Sahal Mahfudz, salah satu ulama terkemuka di Nusantara memberikan secercah dawuh yang dapat menjadi renungan bagi diri kita, untuk selalu melaksanakan perilaku membaca. Beliau berkata “Orang mulai menjadi bodoh ketika berhenti membaca.”

Intisarinya, cukuplah bagi kita untuk mengakhiri perilaku malas membaca, dan mulai menghidupkan kembali budaya gemar baca, sebagai bentuk perjuangan melawan kebodohan, serta memajukan daya pikir guna kemaslahatan bangsa Indonesia dan umat islam.

 

Wallahu a’lam.

 Oleh: M. Azka Zulfarrohman

  

Komentar

Terpopuler

Samudra X JKM 24

Aku Tak Ingin Menyerah

Khidmah, Cara Santri Memperoleh Barokah

Hujan Dan Langit