Cerpen: Baha’



Malam ini terasa begitu dingin hingga menusuk tulang. Jangkrik bersautan seakan memecah keheningan malam. Aku menatap sosoknya lekat-lekat, sosok yang semalam ini kucari. Sosok yang membuat semua masalahku terasa ringan bila kujalani dengannya. Dia sosok yang membuat ku takut untuk melangkah. Ya kau tahu sosok yang berada di hadapanku, dia adalah ayahku.

Ayah yang dulu selalu menyayangiku dengan tulus, ayah yang selalau menemaniku, ayah yang selalu menghawatirkanku, ayah yang menjadi idolaku. Itu dulu. Ayah yang sekarang berkhianat pada ibu, dan ayah yang aku benci. Tuhan aku ingin dia pergi dari kehidupan, aku tak mau melihatnya tersenyum seperti ini.

         Ayah, Baha’ merindukan keluarga kita yang dulu. Keluarga yang selalu membuat Baha’ bahagia, keluarga yang selalu menyayangi Baha’. Dan kini itu semua telah berubah dengan begitu cepatnya. Rasanya seperti mimpi, tanpa terasa air mataku lolos dengan begitu saja. Aku hanya bisa diam, rasanya aku tak kuasa menahanya lagi. Ayah tahukah engkau apa yang ada didalam hati ku? Pernahkah kau berfikir tentang perasaan ku? Pernahkah kau melihatku tersenyum seperti dulu? Aku rasa tidak. Rasanya aku baru saja mengenalmu. Sosok yang membuatku jenuh, dan sosok yang tak lagi aku butuhkan. Tuhan aku harus bagaimana? 

Aku memberanikan diri untuk menatap sosoknya. Dia tersenyum lebar padaku seakan semua ini baik-baik saja. Wajahnya pun terlihat sangat bahagia, berbeda dengan ku.

“Bagaimana Baha’ apa kau menyetujuinya?” tanya ayah dengan sumringah. Aku hanya diam tak bersuara.“Baha’ kau baik-baik saja kan nak?” ucapannya memastikan ku.

“Tidak,” jawabku datar.

        Seketika itu mereka saling bertatapan satu sama lain bisikan-bisikan pun mulai terdengar. Ayah menatapku tak percaya.

“Iya, Baha’ tidak baik-baik saja ayah! Jika ayah tetap ingin menikahinya, Baha’ akan pergi barsama ibu,” kataku dengan tegas.

“Apa yang kau bicarakan Baha’, bukankah kau menyetujuinya Baha’? Apa yang ada di dalam pikiran mu?” tanya ayah dengan nada tinggi. Aku berdiri menatap sosok wanita di sebelahnya. Aku membenci wanita itu. Wanita yang sekarang ingin menggantikan sosok Ibu. Wanita yang ayahku cintai.

“Maaf ayah, bukannya Baha’ ingin merusak semua ini, namun Baha’ ingin ayah mengerti bagaimana perasaan ibu. Bagaimana kalau ibu tau, bagaimana kalau ibu benar-benar pergi dari kita. Baha’ mohon sekali ini pada Ayah untuk mengerti perasaan ibu,” kata-kata itu lolos dengan begitu saja.

“PLAAKKK” tamparan itu berhasil mendarat dengan mulus dipipiku. Aku terdiam dengan apa yang baru saja ayah lakukan padaku. Bukankah ayah tak pernah bersikap seperti ini.

“Apa yang kau bicarakan, apakah kau ingin dengan ibumu saat ini? Bukankah ibumu benar-benar telah pergi Baha’ kau ingin mati bersama ibumu?” kata-kata itu benar-benar menampar hatiku.

“Tidak! Ibu masih ada untukku sampai kapan pun. Baha’ rasa ayah yang telah mati,” ucap ku sambil berjalan pergi meninggalkan ruang tamu.

“Baha’ kau mau kemana? Apa kau akan pergi menemui ustadz dipondokmu? Kau tak mendengar kata ayah Baha’? Apa kau ingin susah bersama teman dan ustadzmu, atau kau ingin pergi kerumah kakekmu yang miskin itu? Baha’ kau tak ingin hidup bersama ayah?” Suara itu benar-benar membuatku penat. Aku tak peduli dengan apa yang ayah katakan. Aku tak ingin hidup bersamamu. Aku ingin kembali bersama Kakek. Aku ingin pergi untuk memenuhi permintaan dari ibu. Ya aku berjanji untuk menjadi anak yang ibu ingin kan.

Pagi ini aku bersiap untuk terbang ke-Jawa timur dimana aku akan bertemu dengan kakekku yang aku tingggalkan tiga tahun terakhir. Setelah kepergian ibu dua bulan yang lalu, aku benar-benar terpukul. Bagaimana tidak, ibu yang selalu ada disisiku, ibu yang selalu memberiku pendidikan agama sampai saat ini, dan ibu yang membuatku untuk tidak meniru ayahku. Ayah yang gila dengan harta, memang aku akui ayah mempunyai banyak harta dan aku pun hidup berkecukupan bahkan sampai-sampai aku di berikan lebih. Namun, ia selalu menghabiskannya dengan berfoya-foya, berbeda dengan ibu. Ibu selalu memanfaatkan hartanya untuk kepentingan anak-anak panti di desa sebelah. Ibu tak pernah mengkhawatirkan hartanya akan habis, berbeda sekali dengan ayah. Namun, ya sudah lah aku tak mau mengingatnya membuatku terasa jenuh. Kupandang jam yang melingkar ditangan ku.Jam menunjukkan pukul 08.15 WIB itu tandanya pesawat akan segera lepas landas. Aku berjalan menuju kabin pesawat mencari tempat duduk dekat dengan jendela.

         Satu jam lagi, aku akan bertemu dengan kakek di jawa timur. Namun tunggu sebentar, bukankah kakek tak tau tentang kematian ibu? Apakah kakekku masih hidup? Andaikan kakek masih hidup, bukankah kakek akan merasa terpuruk seperti ku? Tidak, tidak, aku harus berbohong padanya bahwa semua baik-baik saja. Lantas bagaimana jika ia bertanya kenapa aku kerumahnya? Haruskah aku jawab pertanyaannya dengan kenyataan atau aku harus berbohong? Ah sudahlah untuk itu pikir nanti, sekarang aku harus mencari alamat yang ada ditangan ku ini. Alamat yang ibu berikan sebelum ibu pergi. Rasanya baru kemarin ibu bercerita tentang kakek padaku dan sekarang ibu telah pergi tanpa persetujuan ku. Pergi meninggalkan ku untuk selama-lamanya.

Satu jam telah berlalu pesawat yang aku tumpangi telah tiba di Jawa timur tepatnya di Surabaya. Kulangkahkan kaki ku keluar bandara, jam masih menunjukkan pukul 09.30 WIB. Namun matahari diluar terasa sangat panas, baru pertama kali aku ke Jawa timur sendiri seperti ini tanpa ibu. Namun tak apalah ini demi ib. Aku berdiri didepan pintu keluar bendara Nampak beberapa taksi berjajar rapi menunggu penumpang. Kuhampiri salah satu taksi itu memintanya untuk mengantarkan ku.

“Pak taksi!” kataku pada bapak paruh baya itu.

“Iya mas, silahkan masuk,” ucapnya sambil membukakan pintu mobil.

“Tujuannya kemana mas?” tanya bapak itu. 

        Setelah aku masuk, kubacakan alamat tujuan ku yang ada ditangan ku. Untung saja bapak itu tahu tujuan ku dan tak terlalu jauh dari bandara. Tiga puluh menit kemudian, sampai tujuan yang ku cari. Rumah berwarna putih itu sama seperti tiga tahun yang lalu, aku rasa tak mengalami perubahan. Otakku berputar seakan memori kenangan itu kembali muncul begitu saja. kutatap lama-lama rumah didepanku, benarkah ini rumah kakek? Tempat dimana aku lahir, tempat dimana aku dibesarkan, tempat dimana awal cerita ini, aku masih terdiam, enggan rasanya aku masuk. Akan ada banyak pertanyaan didalam sana. Dan aku harus berbohong pada kakek. Ku beranikan diri untuk masuk, ku ketuk pintu rumah itu, terdengar jawaban dari dalam rumah. Tanganku tiba-tiba dingin jantungku berdetak tak karuan siapa yang akan keluar dari balik pintu ini Tuhan? Masihkah kakek dan budhe Susi didalamnya? Tak lama kemudian pintu pun terbuka. Nampak sosok budhe dihadapanku. Budhe menatapku dengan keheranan nampak raut wajahnya sedang berfikir siapa yang sedang dihadapannya ini. Aku tersenyum pada budhe berharap budhe mengenaliku.

“Budhe susi,” kataku memberanikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu. Budhe mengerutkan kening.

Kon anake Rini?” Tanya budhe dengan bahasa jawa. Jujur aku sedikit bingung namun aku sedikit faham.

“Iya budhe aku anake Rini, Baha’ budhe,” kataku memperkenalkan diri.

Ya Allah Baha’ ponakanku, koe wes gede to ha’,” ucapnya sambil memelukku.

Kon waras ha’? kon rene karo sopo? Ayah ibumu neng ndi ha',“ aku hanya terdiam.

“Budhe, Baha’ nggk faham apa yang budhe omongin,” kataku sambil tersenyum padanya.

“Oalah iya budhe lupa, kamu dari Jakarta kesini sama siapa? Ibu ayahmu kemana ha'?” Ucap budhe mengulangi kata-katanya.

“Sendiri budhe, ibu sama ayah di Jakarta,” jawabku berbohong pada budhe. 

“Maaf budhe Baha' harus membohongimu,” ucapku dalam hati.

“Ya udah ayo masuk Baha’. Kakek ada didalam, bawa barang-barangmu masuk ha’, Hanif sepupumu juga ada didalam,” ajak budhe padaku. Aku mengangguk tanda setuju. Ku bawa barang-barangku masuk. Budhe membawaku ke ruang keluarga. Nampak kakek sedang fokus pada Koran yang sedang dibacanya. Begitupun dengan Hanif yang sedang sibuk dengan smartphone nya. Mungkin mereka belum menyadari kedatanganku.

Bapak, Hanif, delok en sopo seng teko,” kata budhe sambil menggandeng tanganku. Mereka pun menoleh padaku, aku tersenyum lebar. Kakek menatapku seakan tak percaya begitupun dengan Hanif.

“Baha’?” Ucap kakek sambil memegang pipiku. 

He, kon baha’ ta? Anak e budhe Rini? Kok gantenge ngeluwih i aku malah,” Hanif menimpali. Aku pun mengangguk.

“Benarkan ini Baha’?” Ucap kakek sekali lagi.

“Iya kek ini Baha’,” jawabku meyakinkan yang spontan dipeluk kakek. Kubalas pelukan itu.

Kakek kangen ibumu ha', kangen kon, kangen ayah e kon pisan,” ucap kakek padaku.

Aku terdiam tanda tidak faham. 

  “Iya kakek, Baha' sudah besar,” kataku dengan asal.

Loh kon iki, kakek ngomong opo, kamu jawab opo,” sewot Hanif padaku.

“Opo? Kakek opo? Kakek memang sudah tua nif,” jawabku.

Budhe dan Hanif membelalakkan mata. 

“Hey, apa yang kamu bicarakan ha'?” Tanya budhe padaku.

“Ndak tau budhe, Baha' bingung dengan apa yang diomongin kalian,” ucapku polos.

Seketika mereka tertawa mendengar jawabanku. Aku terdiam apa yang lucu? Tanyaku dalam hati.

“Sudah-sudah mari duduk ha', mari bicara dengan kakek apa tujuanmu kesini,” kata kakek padaku. Aku mengangguk. Kakek mengajakku duduk diruang tamu bersama budhe dan Hanif. Perasaanku mulai tak karuan apakah kakek telah mengetahuinya? Atau kakek akan menyuruhku pergi? Pertanyaan itu terus memenuhi ruang dalam kepalaku. Aku hanya diam tak bersuara.

“Baha',” panggil kakek memecah keheningan. Kutatap wajah tua itu, wajah yang tak jauh berbeda dengan ibu dan sorot matanya yang membuatku merasa gugup.

“Aku tahu apa tujuanmu kesini Baha', ibumu baru saja mengirim surat untuk kakek satu bulan yang lalu,” kata-kata itu berhasil menghantam dadaku. Bagaimana mungkin kakek mengetahuinya, jika ibu mengirim satu bulan yang lalu, lantas siapa yang mengirimnya? Aku tertegun dengan kata-katanya. 

“Surat kek? Ibu bicara apa pada kakek?” Tanyaku penasaran.

“Ibumu bilang bahwasannya kau akan menuntut ilmu di Jawa. Ibumu ingin kau ada di Pondok Pesantren seperti dua tahun yang lalu bukankah seperti itu baha'?” Tanyanya memastikan. Lega rasanya aku dengan apa yang kakek bicarakan padaku. Aku tersenyum

“Iya kek,” jawabku.

“Kau mau kepondok mana ha’? Ibumu juga memberi budhe  uang yang banyak sekali, ibumu baik-baik disana ha'?” Timpal budhe.

“Iya budhe baik-baik saja, ibu begitu bahagia budhe,” jawabku berbohong. Rasanya aku ingin menangis dihadapan kakek atas kebohonganku pada kakek tentang kematian ibu.

“Baha’ kau mau kepondok mana? Biar kakek antarkan. Ibumu juga memberikanmu uang untuk kebutuhanmu dipondok. Apa kau belum siap pergi kepondok baha’?” Cercah kakekku, gelengkan kepalaku.

“Bukan kek, Baha’ sangat siap namun tidak untuk saat ini beri waktu satu minggu untuk Baha’, biarkan Baha’ bersama kakek untuk akhir-akhir ini.” Kakek mengiyakan permintaanku. Lega rasanya aku. Namun, ucapan kakek tentang surat itu membuatku berfikir, bagaimana ibu mengirimnya, ibu pergi dua bulan yang lalu, sedang kan surat itu datang pada kakek satu bulan yang lalu, siapa yang mengirimnya? Ataukah siapa aku tak tahu, tapi tak apalah biarkan saja, untukku yang terpenting saat ini biarkan seperti ini, biarkan kakek tak mengetahui tentang kematian ibu. Biarkan aku terus berbohong pada mereka untuk sementara waktu. 

        Satu minggu telah berlalu. Saatnya tiba diujung hari, Aku mulai berkemas untuk pergi kepondok yang ibuku mau entah seperti apa aku tak tahu.Yang aku tahu ibu menyuruh kakek untuk membawaku ke pondok pilihannya. Matahari mulai terasa panas, kulihat arloji ditanganku jam menunjukkan pukul 07.25 masih pagi sekali rasanya. Namun aku harus segera bersiap untuk pergi kepondok.

Klekk…. Terdengar suara kenop pintu dibuka benar saja kakek sudah berada diambang pintu kamarku, aku menatapnya sambil tersenyum.

“ Baha’, apakah kau sudah siap untuk pergi ke pondok?” Tanya kakek. Aku mengangguk. 

“ Ini kakek mempunyai surat untukmu surat yang ibu titipkan padaku sebelum kau pergi kepondok,” kata kakek sambil menyodorkan amplop putih itu. Aku sedikit tertegun, surat apa yang ibu berikan padaku.  Ku terima surat itu. Kutatap surat itu dengan mata nanar, air mataku tak kuasa lagi kusimpan, dadaku mulai sesak.

        “Tuhan,” Kataku lirih. “Baha’ kakek keluar ya,” kata kakek sambil menutup pintu. Aku mengangguk. Kubuka surat itu perlahan, lipatan surat yang begitu rapi, kubalik lipatan surat itu, nampak tulisan namaku dan ibu. Kubuka perlahan lipatan itu dan kubaca dengan seksama,


Untuk anakku baha’ yang tampan, anak yang menghiasi hari-hari ibu, dan anak yang ibu sayangi sampai kapanpun. Baha’ kau tahu ibu sangat menyayangimu, ibu ingin kau menjadi anak yang baik, anak yang selalu menjadi kebanggaan ibu dan ayah, anak yang taat dalam beragama, dan anak yang selalu patuh pada ibu dan ayah. Baha’ , ibu ingin kau pergi menuntut ilmu di pondok pesantren. Ibu ingin kau mendalami agamamu, ibu ingin kau tak seperti ibu atau ayah. Namun ibu ingin kau seperti bapakmu, bapak yang tak pernah kau kenali, bapak yang tak pernah ibu ceritakan padamu, dan bapak yang akan kau temui saat ini. Jika saja kau berangkat ke pondok nanti, kau bertemu dengan sosoknya, ibu ingin kau memberinya salam, salam dari Rini untuk Abdulrohman, wanita yang dulu dinikahinya, wanita yang tak pernah mencintainya, wanita yang menyia-nyiakannya dan wanita yang melahirkan anak yang kau beri nama Baha’ itu. Itu saja yang ingin ibu sampaikan pada bapak kandungmu Baha’ ibu rasa kau berhak untuk mengetahuinya, dan ibu harap kau tetap memiliki hubungan baik dengan ayahmu, meskipun dia bukan sebenar benar ayahmu. Namun percayalah pada ibu, ayahmu benar-benar menyayangimu, ayahmu yang mampu membuatmu bahagia, ayahmu yang selalu kau butuhkan, ayahmu yang merawatmu sampai saat in. Jadi, ibu mohon jangan pernah jauh  membencinya, apapun yang terjadi Baha’, ibu mau kau tetap menjadi anak ayah yang ibu kenal. Ibu tau kau akan bertanya-tanya pada dirimu sendiri, namun, kau akan segera mengerti jawaban ini setelah kau bertemu dengan ayah atau bapakmu. Maafkan ibu ! bukannya ibu tak mau kau tak mengenal bapakmu, namun ibu rasa kau belum pantas untuk mengenalnya, dan ibu rasa  kau sekarang  berhak untuk mengenalnya. Baha’ bolehkah ibu berpesan padamu, ibu ingin kau bersama bapakmu, ibu ingin kau seperti dia lelaki yang menghormati orang tuanya, lelaki yang mampu menghargai wanita dan lelaki yang taat dalam beragama. Cukup itu saja baha’ yang ingin ibu katakan padamu. Ibu ingin kau memahaminya. Suatu saat nanti kau jangan merasa terpuruk atas kepergian ibu Baha'! Ibu akan selalu disisimu, ibu akan selalu mendukung dan menyayangimu sampai kapanpun.

Dari ibu untuk baha', 

Putra kesayanganku 

Tetaplah menjadi baha’ 

Yang ibu kenal       


Tubuhku terperosot dengan begitu saja, lemas sekali rasanya hingga aku tak kuasa untuk menopang tubuh ini. Kusandarkan tubuhku di tembok, air mataku mengalir dengan begitu saja, rasanya aku tak percaya dengan semua ini, mengapa semua ini terjadi padaku Tuhan

            Kupeluk erat-erat surat itu. Ibu, apa yang kau lakukan padaku? Haruskah kau pergi meninggalkan semua ini untukku? Haruskah ibu, aku menuruti semua permintaanmu? Ibu aku harus bagaimana ini? Apa yang sebenarnya teerjadi padaku? Apakah ayah tak mengetahui tentang semua ini? Ataukah mereka menutupinya dariku? Apa yang mereka rencanakan untukku? Begitu teganya kah mereka padaku? 

        Air mataku tak kunjung berhenti, rasanya aku ingin pergi dari mereka, dan pergi dari semua ini. Aku masih terdiam, kudengar suara kakekku, namun aku enggan menjawabnya, 

“Baha’, bisakah kau keluar dari kamarmu Baha?“ Pintanya sambil mengetuk pintu kamar.

“Baha’ apakah kau baik –baik saja? Bolehkah kakek masuk Baha'?“ Tanyanya dengan lembut.

“Ya kakek,” jawabku menyetujuinya. Pintu terbuka, Nampak kakek dan budhe di ambang pintu. Nampaknya mereka tahu tentang semua ini.

“Baha’,“ ucapnya lirih sambil memelukku. Aku larut dalam pelukannya hingga enggan rasanya untuk melepaskannya. Pelukan itu tak jauh berbeda dari ibu.

“Kau, baik-baik saja Baha’?“ Tanya kakek padaku.

“Ya kek,” jawabku dusta. 

        “Maafkan kakek dan budhe ha’, kakek tak memberitahukanmu tentang ini. Maafkan kakek tak bisa datang di pemakaman ibumu, kakek benar-benar menyesal, kakek sangat rindu ibumu. Kakek tau apa tujuanmu ke sini. Ibumu yang memberitahuku. Apakah  kau tahu siapa yang mengirimkan surat ibumu untukku? Ya…… Ayahmu yang mengirimnya, ayahmu yang memberitahu atas kematian ibumu. Aku tak tahu bagaimana pikirannya, hingga dia memberi surat setelah satu bulan pergi. Kau harus kuat Baha’, kau harus terima dengan semua ini, kau harus turuti semua ini, engkau harus bertemu dengan bapakmu. Dia sudah menunggumu, dia sudah menunggumu diruang tamu bersama ayah mu.

“Tak kuasa lagi rasanya aku mendengarkan kakek. Kata-kata yang benar-benar menyakitkan bagiku, kata-kata yang tak mau lagi kudengar air mataku masih enggan untuk berhenti. Pikiranku menerawang jauh-jauh entah kemana, lidahku kelu rasanya. 

"Perasaan macam apa ini Tuhan," batinku lirih.

“Baha’ kau harus temui mereka,” erintah budhe padaku sambil menarik tanganku untuk berdiri.

"Budhe," ucapku.

        “Kau kuat Baha’,“ katanya. 

        “Kau harus kuat Baha’ kakek percaya itu,” kata kakek meyakinkanku. 

        Aku keluar menuju ruang tamu bersama budhe, tampak dua orang lelaki sedang berbicara, ya itu ayahku, namun lelaki disampingnya aku rasa aku baru melihatnya. Wajahnya begitu asing, namun aku merasa dia sangat mirip denganku. Mereka menghentikan pembicaraan. Ayah menatapku dengan nanar, Aku terdiam menatapnya.

“Baha’ maafkan ayah,” katanya lirih sambil memelukku. Pelukkan itu sangat aku rindukan, pelukan yang dia berikan padaku, rasanya sudah lama sekali aku tak memeluknya, hingga aku benar-benar merindukannya.

“Kau sudah membaca surat dari ibu Baha’?” Tanya aya. “Ya” Jawabku singkat.

“Rasanya ayah tak perlu mengulanginya Baha'.’’ 

“Ya, aku tahu,” jawabku singkat. “Lantas apa yang harus Baha lakukan ayah?” Tanyaku pada ayah. “Kau harus bersama bapakmu.” Lanjutnya sambil menunjuk pada sesosok laki-laki dihadapannya, laki-laki yang mungkin bapak ku itu. Laki-laki yang pertama kali ibu nikahi, laki-laki yang ibu tinggalkan, dan laki-laki yang bernama Abdul rohman itu.

“Itu laki-laki yang ibumu tinggalkan demi cinta pertamanya yaitu ayah,” kata ayah. Aku tertegun,” Ya tuhan benarkah itu bapakku? Bapak yang ibu inginkan untukku? Bapak yang akan tinggal bersamaku? Bapak yang akan menjadi panutanku?” Batinku. Dia tersenyum padaku, 

“Baha’, kau anakku, anak yang kutunggu selama 18 tahun terakhir. Anak yang ingin kubesarkan dengan kemampuanku, anak untuk istriku Rini dan anak yang akan menjadi kebanggaanku. Baha’, maukah kau hidup bersamaku? Tiga tahun yang lalu, waktu kau kesini bersamanya, ibumu ingin kau tumbuh bersamaku, namun ibu ingin kau tetap bersama ayahmu,” kata bapak kepadaku.

         Aku mencoba memahami kata-kata itu berharap semua ini hanya mimpi. Namun nyatanya ini bukan mimpi. Aku harus bagaimana lagi, aku hanya bisa mengiyakan semuanya. Mencoba untuk kuat, mencoba untuk baik-baik saja, mencoba untuk bahagia seperti sedia kala, mencoba hidup bersama mereka, dan mencoba berdamai dengan keadaan. Kejadian dua tahun yang lalu itu seperti terulang kembali, semua itu rasanya masih membekas diingatanku. Aku menghembuskan nafas, berharap semua kejadian itu akan pergi bersama dinginnya malam hari, bintang diluar sana tampak begitu indah malam ini, sama seperti keadaanku saat ini. Aku yang saat ini bersama bapak dan Aku yang kini benar-benar menjadi Baha’ yang ibu inginkan...

  Oleh: Nafi Famelia.

 

       

    

 

             


Komentar

Terpopuler

Samudra X JKM 24

Aku Tak Ingin Menyerah

Khidmah, Cara Santri Memperoleh Barokah

Hujan Dan Langit